Ketika iseng membaca-baca artikel seputar cinta, tanpa sengaja saya menemukan blog yang membahas seputar “Tanya Jawab Cinta” dalam pandangan islam. Sengaja saya publish ulang di halaman ini, untuk menerangkan arti sesungguhnya tentang “CINTA”
Assalaamu’alaykum warrahmatullaahi wabarakaatuh,
Berikut ini tanya jawab seputar CINTA yang sempat saya dokumentasikan saat pengajian bulan Maret 2005 di Frankfurt am Main. Banyak sekali pertanyaan yang muncul berkisar seputar jodoh, pernikahan dan pernik-perniknya. Semoga bisa bermanfaat buat kita semua.
***
T : “Jodoh itu sebaiknya ditunggu atau dicari/diusahakan?”
Pertanyaan senada adalah: “Apakah benar jodoh kita sudah ditetapkan oleh Allah? Namun ada juga yang mengatakan jodoh harus diusahakan, mana yang benar? Jika memang kita harus mengusahakan, sampai batas mana yang diijinkan oleh syara’, apakah do’a kita saja sudah dikatakan sebagai usaha yang mencukupi?”
J : Analogi soal jodoh adalah rezeki, keduanya adalah rahasia Allah untuk kita. Bedanya, rezeki bisa kita peroleh berkali-kali, sedangkan untuk jodoh tak sesering itu bahkan mungkin hanya sekali seumur hidup.
Konsepnya, rezeki itu ada 2 macam, yaitu rezeki yang kita cari/usahakan dan yang mengejar/mendatangi kita. Kita sebagai manusia hidup, terutama para pemimpin rumah tangga, harus berusaha mencari rezeki yang halal, berkah, dan cukup untuk seluruh keluarga dan tanggungannya. Usahanya ini dinilai oleh Allah dan diberi pahala sebaik usahanya. Namun sebenarnya, rezeki yang datang kepadanya adalah rezeki yang sudah ditentukan Allah, apakah termasuk yang dia usahakan atau yang sama sekali tak dia usahakan. Jadi, dicari atau tidak, dikejar atau tidak, Insya Allah rezeki datang dengan jumlah sama dengan ketentuan Allah dari awal.
Soal jodoh juga demikian, siapa, kapan dan di mana sudah pasti. Bagaimanapun usaha yang kita tempuh, apakah dengan cara yang baik atau mudharat, pasti akan bertemu dengan jodoh yang sudah dipilih-Nya. Jadi kesimpulannya, usaha manusia berguna untuk mengumpulkan poin pahala atau malah poin dosa, sedangkan urusan hasil adalah hak Allah semata. Jika demikian, maka bila kita tidak mengusahakan jodoh (dan rezeki) maka pahala yang kita kumpulkan tidak sebanyak jika kita usahakan secara ma’ruf (baik), namun keuntungannya kita bisa terhindar dari resiko berdosa jika usaha yang kita lakukan itu tidak baik.
T : “Kita diperbolehkan gak sih menentukan kriteria pasangan? Wajar kan, selain yang sholeh kita pengen juga yang wajahnya enak dipandang, akhlaknya bagus, pendidikannya tinggi, wawasannya luas, dan sudah mapan ekonominya.”
J : “Memiliki kriteria pasangan yang ideal boleh-boleh saja, supaya cocok terus selama pernikahan yang inginnya berlangsung sekali seumur hidup. Tapi ya kalau semua kriteria „diborong“, maksudnya jika dipatok terlalu ideal, jadinya menyulitkan diri sendiri. Jangan pernah berfikir akan mendapatkan sosok yang sempurna, karena secara kodrat setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Jika mengharapkan pendamping yang sempurna seharusnya kita juga sempurna, sesuatu yang tidak mungkin bukan? Jadi kita harus mau dan mampu untuk berlapang dada menerima kekurangan calon pasangan hidup karena pada saat yang sama dia juga akan bersabar dengan kekurangan yang kita miliki. Yang paling penting dia sholeh dan mapan pribadinya.“
T : “Bagaimana kalau hasil shalat istikharah dalam memilih jodoh ternyata berbeda dengan pertimbangan logika? Jadi pilih yang mana?“
J : “Tentu saja harus pilih hasil shalat istikharah. Karena Rasulullah SAW mengajarkan, jika menghadapi persoalan yang menyangkut rahasia Allah (seperti halnya jodoh) kita perlu melakukan shalat istikharah. Insya Allah, Dia berkenan memberikan petunjuk-Nya dan dapat memberikan keyakinan pada kita tentang pilihan yang paling tepat. Yang terpenting waktu melaksanakan sholat istikharah, pikiran dan perasaan kita sebisa mungkin harus netral dan menyerahkan diri pada pilihan-Nya. Kita harus yakin bahwa keputusan atau pilihan-Nya adalah yang paling benar dan kita tidak boleh ragu-ragu. Tentunya sholat tersebut tidak hanya dilakukan sekali saja, tetapi dilakukan selama beberapa hari, sampai timbulnya keyakinan pada diri kita akan pilihan yang paling tepat. Petunjuk itu tidak harus berupa mimpi.”
T : “Bagaimana kalau pilihan kita tidak sesuai dengan kehendak orang tua?“
J : Pilihan terbaik adalah pilihan yang tanpa ada penghalang dari pihak manapun, termasuk di dalamnya kesesuaian dengan kehendak orang tua. Hal ini sesuai dengan doa pada shalat istikharah yaitu: “Jika Engkau Ya Allah mengetahui bahwa urusan ini baik bagiku, agama dan kehidupanku, maka tetapkanlah dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berkatilah aku…”. Jadi pilihan terbaik mengandung kemantapan dari semua pihak.
Kedudukan orang tua tentu tidak bisa diabaikan begitu saja, karena biar bagaimana pun mereka telah mengenal kepribadian kita sejak lahir. Untuk itu jauh sebelum memilih calon suami, kita perlu bicara dari hati ke hati dengan orang tua. Mintalah pertimbangan mereka dengan cara yang terbaik dan simpatik, tanpa harus terlalu memaksakan kehendak. Jadikan hal itu sebagai wujud bakti kepada orang tua. Apalagi jika kriteria calon suami pilihan orang tua tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka sungguh sangat baik bila kita mengikuti dan melaksanakan saran mereka. Dan jika saran orang tua ini dipadu dengan ikhtiar melalui shalat istikharah maka pilihan akan lebih mantap.
Namun demikian, bisa jadi hasil istikharah ternyata berbeda dengan selera orang tua. Dalam kasus ini maka sebaiknya kita konsultasikan sekali lagi kepada para ustadz yang kita kenal. Ada sebuah hadits yang bisa kita jadikan acuan yaitu: “Dari Ibnu Abbas ra, bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW, lalu ia memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkannya padahal ia tidak suka. Lalu Rasulullah SAW memberikan hak kepadanya (wanita itu) untuk memilih” (HR Abu Daud). Bila memang demikian adanya, maka kita perlu menyampaikannya kepada orang tua dengan cara yang baik, sopan dan tidak menyakitkan sehingga mereka bisa merestui hasil istikharah kita. Hal yang sangat penting diperhatikan adalah bahwa salah satu syarat syah menikah adalah adanya wali yaitu ayah kita. Hakekatnya, wali-lah yang melakukan akad (ikatan, perjanjian) dengan calon suami kita.
T : “Bagaimana (sejauhmana) proses ta’aruf yang Islami, sehingga kita terhindar dari fitnah dan zina mata atau hati”
J : Proses pra-nikah dilakukan dengan ta’aruf (mengenali, melihat) dan khitbah (meminang, melamar). Kadang-kadang seorang pria langsung meminang calon istrinya tanpa melakukan ta’aruf. Namun Rasulullah SAW lebih menyarankan adanya proses ta’aruf. Beliau pernah menyuruh salah seorang sahabatnya untuk melihat dahulu calonnya dengan maksud untuk ta’aruf. Abu Hurairah mengatakan: “Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu.” (HR Muslim).
Mengapa ta’aruf lebih baik dilakukan sebelum menikah? Karena (1) Dapat menghindarkan perasaan tertipu ketika ternyata ada sifat atau perilaku yang tidak disukai, bahkan penyakit yang sebelumnya tidak diketahuinya (2) Dapat meningkatkan keinginan untuk menyegerakan menikah. (3) Merupakan pangkal tumbuhnya kasih sayang (pepatah: “tak kenal maka tak sayang”).
Pada hadits tersebut Rasulullah tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat atau diperlihatkan. Namun karena belum ada ikatan mahram, kita hanya boleh memperlihatkan muka dan dua tapak tangannya. Di samping itu, kita juga bisa lebih mengenali sosok tubuhnya, mengenali wajahnya, melihat sepintas perilaku dan tutur bahasanya.
Dalam ta’aruf itu, kita berhak bertanya yang mendetail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Kedua belah pihak harus jujur dalam menyampaikannya, karena bila tidak dapat berakibat fatal nantinya. Karena proses ta’aruf bersifat interaktif maka tidaklah cukup hanya dengan mengajukan foto dan biodata saja. Namun, selama proses interaktif itu berlangsung harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya, bukan guru atau ustaznya.
Itulah sebabnya ta’aruf via internet, telepon, dan sms banyak disangsikan oleh para ulama apakah sesuai dengan syarat ini (acuan: konsultasi eramuslim dan syariahonline). Batasan apakah ini merupakan khalwat (menyepi berdua) atau bukan menjadi tidak jelas lagi. Memang secara fisik tidak terjadi khalwat, yang terjadi hanyalah mungkin- sebuah “cyber khalwat”. Tapi esensi khalwat itu adalah “rasa bebas dan aman” untuk berekspresi dengan lawan khalwatnya, dimana isi dan tema pembicaraan tidak diketahui oleh orang lain. Intinya, ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih kepada pembicaraan realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang berdua.
Selanjutnya kita menempuh proses peminangan yang lebih banyak pengecualian. Sudah seharusnya kita boleh memperlihatkan lebih banyak dari hal-hal yang biasa. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengawininya, maka kerjakanlah.” (HR Abu Daud).
Dalam proses khitbah itu juga kita boleh bepergian bersama dengan calon suami dengan syarat disertai oleh ayah atau salah seorang mahram kita ke tempat yang boleh dikunjungi dengan maksud untuk lebih mengetahui perasaan, kepandaian, dan kepribadiannya. Dalam proses ini kedua orang tua wanita tidak boleh menghalang-halangi. Sebuah hadits meriwayatkan: Mughirah bin Syu’bah pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepadanya: “Lihatlah dia! Karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua.”. Kemudian Mughirah pergi kepada dua orang tua perempuan tersebut, dan memberitahukan apa yang disabdakan Rasulullah SAW, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya. (HR Ahmad, Ibnu Majah, Tarmizi dan ad-Darimi).
T : “Informasi seperti apa yang perlu kita ketahui dari calon suami?“
J : “Informasi yang perlu digali dari calon suami didasarkan pada hadits berikut ini: “Dari Abu Huraihah r.a. bahwa Nabi saw bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka beruntunglah yang memilih wanita yang memiliki agama. (Kalau tidak begitu) maka berlumuran tanah kedua tanganmu (engkau tidak akan beruntung)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Jika kita dipilih karena faktor agama, maka tentu kita juga berhak memilih karena faktor akhlaknya pula. Informasi selengkapnya yang perlu diketahui dari calon suami adalah:
- Kualitas agama atau akhlaknya
- Nasabnya (latar belakang keturunan), misalnya hubungan keluarga asal, apakah berasal dari keluarga utuh, harmonis, atau broken home, termasuk bagaimana dengan saudara kandungnya, tradisi keluarga. Faktor keluarga yang berkaitan misalnya norma-norma atau nilai-nilai status sosial ekonomi, dan suku.
- Faktor fisik dan mentalnya, misalnya apakah calon suami mempunyai penyakit keturunan (berkaitan dengan faktor genetik) dan cacat fisik atau mental.
- Faktor yang berkaitan dengan kematangan pribadi (di samping agama), misalnya tipe kepribadian (tertutup/terbuka, pendiam, periang, emosional, sabar), latar belakang pendidikan, kapasitas intelektual, dan profesi, latar belakang organisasi dan aktivitas sosial, kemampuan problem solving, dan kepercayaan diri.
T : “Berapa lama jarak ta’aruf dengan kithbah (meminang)?”
J : Batas waktu antara ta’aruf, kithbah, dan pelaksaan nikah tak ada rincian mutlaknya. Yang penting diingat adalah menikah adalah hal yang perlu disegerakan karena termasuk wajib dalam Islam. Seorang ayah tidak boleh memperlambat perkawinan anak gadisnya kalau ternyata telah dipinang oleh laki-laki yang telah cocok (kufu), beragama dan berbudi. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ada tiga perkara yang tidak boleh dilambatkan, yaitu: (1) shalat apabila waktunya telah tiba, (2) jenazah apabila sudah datang, (3) seorang perempuan apabila sudah didapat (jodohnya) yang cocok.” (HR Tarmizi). Jika ada ada penundaan maka perlu diketahui apa alasannya, apa yang terjadi selama masa penantian itu, dan jelas hingga kapan ditundanya. Memperpanjang masa ta’aruf akan memperbesar resiko perbuatan dosa. Untuk itu batasilah interaksi kita dengan calon pasangan selama masa penantian hanya untuk hal-hal yang sangat perlu dibicarakan saja, dan jangan lupa untuk selalu disertai dengan mahram.
T : “Bagaimana kriteria diperbolehkan menolak lamaran?“
J : Pada dasarnya, seorang gadis tidak boleh menolak lamaran dari laki-laki yang sholeh sebagaimana termuat dalam hadist berikut: “Apabila datang melamar kepadamu seseorang yang kamu ridhoi agamanya dan akhlaknya, maka kawinkanlah. Jika tidak kamu laksanakan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang luas”. (HR. Tirmidzi). Hadits lain adalah: “Sesungguhnya di antara berkah wanita adalah kemudahan dalam meminangnya” (HR Ahmad). Kedua hadits ini menunjukkan bahwa seorang gadis hendaknya mempermudah perkara seorang laki-laki muslim yang baik untuk menikahinya karena ia hendak beribadah dengan mengajaknya ke jalan yang diridhai Allah (menikah). Hal ini juga untuk menghindarkan kerusakan akibat sulitnya seorang muslim atau muslimah untuk menikah.
Namun dalam keadaan tertentu kita boleh menolak pinangan jika ada alasan/penghalang secara syar’i, misalnya jika ia sedang sakit, mempunyai penyakit yang tidak sesuai dengan pria yang melamarnya, sudah ada pria muslim lain yang terlebih dahulu melamar sebelum membatalkannya, atau masih dalam masa iddahnya akibat ditalak atau ditinggal mati oleh suami sebelumnya. Alasan belum selesai studi tidaklah termasuk di sini. Bila ia hendak menolak lamaran pria itu dengan salah satu alasan syar’i itu maka hendaknya dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak pula merendahkannya.
T : “Bagaimana jika calon suami non muslim, bolehkah mas kawinnya berupa syahadat?”
J : Wanita muslimah diharamkan menikah dengan laki-laki non muslim, baik dia Ahli Kitab maupun bukan. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS. Al-Baqarah : 221). Hikmahnya adalah bahwa laki-laki memiliki qawam (kepemimpinan) yang lebih besar dari wanita sehingga pengaruhnya akan lebih kuat dalam pembentukan akidah istri dan anak-anaknya. Untuk itulah calon suami hendaknya diminta untuk masuk Islam terlebih dahulu. Dengan kata lain, maharnya adalah keislamannya karena kandungan nilai dalam mahar sudah sangat signifikan.
Untuk kasus ini kita perlu mengacu pada kisah Ummu Sulaim. Beliau adalah Al Ghumaishak, binti Malhan ibu Anas bin Malik (pembantu Rasulullah sejak kecil sampai dewasa dan seorang perawi yang terkenal banyak meriwayatkan Hadist selain Abu Hurairah dan Aisyah ra). Ummu Sulaim adalah istri dari sahabat Thalhah ra. Rasulullah SAW bersabda: “Diperlihatkan padaku surga, maka aku melihat di dalamnya ada Ummu Sulaim”. Mengapa demikian, apa yang telah diperbuat wanita ini? Diriwayatkan oleh An Nasai, dengan isnad yang shahih, dari Anas ra. ia berkata : Abu Thalhah telah meminang Ummu Sulaim. Kata Ummu Sulaim saat itu: “Demi Allah wahai Abu Thalhah, aku melihat tidak ada lelaki seumpama engkau baiknya, bukannya aku menolak engkau jadi suamiku, tapi bagaimana aku menerimamu, sedangkan engkau dalam keadaan kafir, musyrik, sedangkan aku muslimah, tidak halal bagi aku seorang Muslimah menikahi lelaki kafir, musyrik. Maka jika kamu Islam, aku akan menerima untuk menikah denganmu, dan sebagai maharku itu adalah Islamnya kamu itu. Aku tidak minta apa-apa dari mahar itu selain masuk Islamnya kamu.”. Maka masuk Islam-lah Abu Thalhah, dan menikahlah mereka sampai mempunyai anak.
Jika boleh memberi saran bila menemui kasus dimana calon suaminya non muslim:
- Ajaklah dia masuk agama Islam dengan ikhlas. Bimbinglah untuk mengucapkan dan memahami makna syahadat, dan untuk mempelajari shalat
- Setelah masuk Islam dengan sepenuh kesadaran, maka menikahlah dengannya penuh dengan cinta dan sayang.
- Jangan terlalu mudah mengatas-namakan semua perasaan yang Anda alami dengan nama cinta. Sebab cinta itu sangat agung dan tinggi sebagai karunia Allah SWT yang hanya bisa digapai oleh hamba-hamba-Nya yang mencintai-Nya juga.
T : “Bolehkah wanita berhias dan bersolek jika sudah ingin menikah?”
J : Islam tidak melarang seorang wanita untuk berhias dan bersolek bila yang bersangkutan sudah ingin menikah, karena hal ini bisa menghilangkan kesulitannya. Ada sebuah hadits yang dapat kita jadikan acuan yaitu: “Ingatlah, demi Allah seandainya Usamah itu anak perempuan, niscaya saya pakaikan padanya pakaian dan perhiasan, sehingga banyak peminangnya” (HR Ahmad). Jelaslah bahwa Islam tidaklah membelenggu umatnya dalam menyikapi cinta, tetapi mengarahkannya kepada kebaikan yang sangat besar yaitu pernikahan.
Kesimpulan :
PERNIKAHAN TEMPAT BERMUARANYA CINTA SEPASANG MANUSIA
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Rum: 21)
“Tidak terlihat di antara dua orang yang saling mencintai (sesuatu yang amat menyenangkan) seperti pernikahan” (Sunan Ibnu Majah)
Pernikahan dalam Islam merupakan sebuah kewajiban bagi yang mampu. Dan bagi insan yang saling mencintai, sebuah pernikahan seharusnyalah menjadi tujuan utama mereka.
Karena itulah percintaan yang tidak mengarah kepada pernikahan bahkan disertai hal-hal yang diharamkan agama sangat tidak disarankan oleh Islam. Cinta dalam pandangan Islam bukanlah hanya tertarik secara fisik atau jiwa, dan bukan pula pembenaran terhadap perilaku yang dilarang agama. Yang demikian itu bukanlah cinta melainkan sebuah lompatan birahi yang besar saja, yang cepat atau lambat akan pupus. Karena itu cinta memerlukan kematangan dan kedewasaan untuk membahagiakan pasangannya, bukan membuatnya sengsara dan bukan juga menjerumuskannya ke jurang maksiat.
Percintaan tanpa didasarkan oleh tujuan hendak menikah adalah sebuah perbuatan maksiat yang diharamkan oleh Islam. Ini disebabkan batas antara cinta dan nafsu birahi pada dua orang manusia yang saling mencintai sangatlah tipis sehingga pernikahan adalah sebuah solusi yang sangat tepat untuk mengatasinya. Juga, cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau dituliskan belaka, sehingga cinta pada lain jenis itu hanya dibenarkan manakala ikatan di antara mereka berdua sudah jelas.
Pernikahan adalah sebuah perjanjian suci dimana Allah SWT sebagai pemersatunya. Dan tidak ada yang melebihi ikatan ini. Dan inilah puncak segala kenikmatan cinta itu, dimana kedua orang yang saling mencintai itu memilih untuk hidup bersama, saling berjanji untuk saling mengasihi, berbagi hidup baik suka maupun duka, dan saling memahami kelebihan dan kekurangan pasangannya.